oleh :
Arif Nasdianto,. Sekjen IPI Pusat
Penilik dalam konteks kebijakan otonomi Pendidikan saat
ini, peranan penilik yang lebih luas
dalam melakukan tupoksinya. Artinya bahwa Penilik dalam melakukan tugasnya semata-
mata tidak hanya di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan tetapi dapat melakukan
di tingkatan kabupaten /kota. Pelaksanaan tugas ini dimaksud dalam rangka
meningkatkan kinerja Penilik sesuai amanah permenpan Rb 14 tahun 2010.
Kalau kita kaji dalam pengelolaan dunia Pendidikan
Nonformal , bahwa ada tiga sumber daya manusia yang dijadikan barometer dalam
perlusan akses dan peningkatan mutu Pendidikan Nonformal yaitu yang menjadi determinan
dari berhasil tidaknya pendidikan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan,
yaitu tutor/pamong belajar SKB, Penjab PKBM/SKB /tenaga fungsional (Penilik) dan
birokrat pendidikan. Pamong
Belajar,Penilik dan Penjab SKB/PKBM lebih
dikenal sebagai SDM yang bergerak langsung pada lingkungan lembaga atau yang
sering disebut sebagai lingkungan mikro.
Sedangkan birokrat pendidikan adalah pada aspek makro pendidikan.
Ketiga sumber daya manusia di lingkungan
pendidikan ini, dalam rangka otonomi pendidikan tentunya, sangat diharapkan
mampu untuk bekerjasama dalam kerangka kerja yang profesional, efektif dan
ideal. Utamanya pola kerja yang selama ini kerap terjadi, seperti masih
kentalnya budaya kerja yang berorientasi ke “atas” atau kepusat harus sagera
dihilangkan. Kinerja pada birokrat pendidikan selama ini tak jarang mengorbankan
Pamong Belajar, Penilik dan kepala SKB /penjab
PKBM demi target capaian yang harus dipenuhi.
Budaya semacam ini kerap terjadi pada saat
rekruitmen seoran Penilik di suatu daerah , Pejabat (birokrasi) terkadang lupa
atau tidak mau berpedoman pada PP 19 tahun 2005 dan Permenpan Rb 14 tahun 2010 pada
pasal yang menyebutkan pesyaratan untuk
menjadi penilik. Kejadian semacam ini
berdasarkan penelusuran penulis , (1) banyak di daerah sanagt kurangnya seorang
penilik, (2) Pejabat belum memahmi
Kualifikasi Penilik, (3) Pejabat dan calon Penilik belum memahami Jabatan dan
kualifikasi Penilik, .(4) Otonomi daerah yang tidak berdasar.
Seharusnya dalam otonomi daerah khususnya
di Bidang Pendidikan, para pejabat hendaknya melakukan perubahan pola pikir dan
budaya kerja yang bertujuan pada perubahan system. Artinya walaupun eranya
sudah desentralisasi tetapi penetuan kebijakan , khususnya pada pengangkatan
Penilik harus berdasar pada Regulasi yang telah diciptakan dari Pusat. Kemudian
peranan pusat dalam menerbitkankan kebijakan yang berkaiatan dengan jabatan
Penilik adalah untuk menata dan mengatur tugas dan kewenangan Jabatan Penilik
dalam rangka meningkatkan mutu PNFI adalah sama.
Sekarang ini jika mengikuti peraturan
yang ada pengangkatan penilik minimal gol III/b , kualifikasi pendidikan S1
Pendidikan , Kenapa hanya dua yang penulis paparkan karena persyaratan inilah
yang sering dilanggar oleh para birokrat di daerah dalam pengangkatan /rekruitmen
Penilik. Untuk itulah saya menyarankan agar rekruitmen penilik harus berdasar
kepada kebijakan otonomi pendidikan , artinya daerah harus segera mengakomodir
hal hal yang berakitan dengan kebijakan –kebijakan di atas. ( catatan lapangan diberbagai daerah dalam pengangkatan penilik)
3 komentar:
di daerah kami ada pengangkatan Penilik dari TLD
Lebih parah lagi di Plmbang penilik diangkat dari tenaga Tata Usaha di Kec, padahal sesuai dengan permenpan dan RB no 14 thn 2010, penilik dapat diangkat dr guru,Kepsek,Pamong,Pengawas atau pejabat sejenis yang bertugas di bidang PNF,bagaimana menurut IPI, sudah benarkah kebijakan seperti itu, ataukah mereka tidak membaca Permenpan dan RB no 14 thn 2010 ?
Didaerah kami PLG, juga sama ada penilik diangkat dr tenaga Tata Usaha diUPT Kecamatan, padahal berdasrkan Permenpan &RB no 14 thn 2010 yang dapat diangkat jadi penilik adalah Guru, Kepala sekolah,Pamong belajar, pengawas atau Pejabat sejenis dibidang PNF,apakah pemegang kebijakan tidak mempelajari isi dr Permenpan&RB tersebut
Posting Komentar