Oleh :
Rahadjeng Kismaningsih. Penilik Jawa Timur
Rahadjeng Kismaningsih. Penilik Jawa Timur
Untuk
menerima perubahan tersebut Penilik berjuangan untuk memperoleh persamaan hak dan
lepas dari diskriminasi mengharap kebijakan yang berkeadilan; untuk menyikapi
perubahan tersebut ada upaya kesadaran diri harus selalu dilakukan dengan memberi
penilaian terhadap diri kita. Hal ini penting untuk memantau perasaan dari waku
ke waktu. Kesadaran diri memang penting bagi pembentukan konsep diri yang
positif. Pengetahuan tentang diri lebih
merujuk pada pelbagai informasi tentang diri kita baik ( self label ) yang berasal dari orang lain, ataupun pengetahuan yang
berwujud kualitas diri ( quality labels
) yang berasal dari kemampuan yang dimiliki. Harapan merupakan sesuatu yang
diinginkan, yang hendak diwujudkan secara empiris, dan karena sifatnya abstrak
harapan menjadi kekuatan untuk mendorong dan mengerakan aktivitas seseorang.
Harapan antara individu satu dengan individu lainya relative berbeda, meski
yang bersangkutan terlahir kembar. Penilaian merupakan aktivitas membandingkan
diri kita ( saat ini ) dengan serangkaian standar ( harapan menjadi/ could be dan seharusnya menjadi/ should be ).
Jarak
perbedaan antara kita saat ini dengan harapan kita untuk menjadi apa, apalagi
dengan seharusnya menjadi apa, menjadi parameter harga diri yang bersangkutan.
Semakin terpenuhinya harapan menjadi, ataupun seharusnya menjadi, menandakan
semakin tinggi self esteem ( harga
diri ) yang bersangkutan dan begitu sebaliknya. Pemahaman tentang penilaian
diri, pengetahuan tentang diri kita, dan harapan terhadap diri kita akan
mengarahkan kesadaran diri yang baik dalam membentuk konsep diri yang positif,
dan konsep diri ini memiliki peranan penting dalam memperbaiki kepribadian dan
gaya perilaku seseorang. Konsep diri merupakan gambaran mental mengenai dirinya
sendiri yang mencakup semua karakteristik, kemampuan- kemampuan, ketidakmampuan
dan hal- hal yang harus/tidak harus dilakukan. Konsep diri positif dicirikan
dengan indicator mengetahui kelebihan dan kelemahan, sebaliknya konsep diri
negatif dicirikan dengan kurang memahami kelebihan ataupun kelemahan yang
dimilikinya, menolak umpan balik terhadap dirinya ( terutama jika itu hal
negatif ); konsep dirinya tidak dapat diubah ( kaku ).
Dunia ini serba berubah dan tidak
ada yang kekal kecuali perubahan itu sendiri, ini telah ada dan difirmakan “
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
mengubah apa yang terdapat didalam diri mereka sendiri ( QS. Al – Ra’ad/13.11 ).
Gubernur Lemhanas Muladi, 2006 berpendapat “……. kehendak atau hasrat untuk
berubah akan tetap menjadi kehendak atau hasrat apabila tidak disertai dengan
kemampuan kepemimpinan yang unggul………….Kehebatan seorang pemimpin seperti
motivasi untuk maju, bijak,
professional, tidak sombong, hidup sederhana, jujur, sadar akan pentingnya teamwork, suka bekerja keras, berani ambil resiko secara terukur, penuh
imajinasi dan selalu menjaga kualitas kerjanya serta kesediaan mengakui
keunggulan seseorang , tidak dapat hanya diperoleh melalui pendidikan formal,
tetapi diperoleh melalui penghayatan empiris………….”
Tantangan mendasar dari sertifikasi
sebagai harga mati yang disampaikan oleh Arief Supadmo ( 2011), belajar dari
program yang sama sudah ada, adalah kemauan untuk berubah. Dalam pandangan
Anda, apakah penilik yang ada saat ini bakal mampu untuk menyesuaikan dengan
tuntutan bila nanti ada sertifikasi? Ya, kami juga sadar itu, bakal ada penilik
yang kesulitan atau tidak lagi memiliki motivasi. Kelompok seperti ini tentu
bisa dilakukan bentuk penghargaan lain. Toh pada saat sertifikasi guru, untuk
guru yang sudah berusia tua dan pangkatnya tinggi, juga mendapat perlakuan
berbeda. Nah, bagi penilik yang masih memiliki semangat tentunya sertifikasi
bakal menjadi momentum yang baik untuk makin meningkatkan profesionalismenya.
Lebih jauh dari itu, sertifikasi penilik bakal menjadi pintu masuk bagi
hadirnya penilik-penilik muda yang lebih professional. Merupakan harapan sebuah
keadilan tetapi amatan terhadap
prilaku Penilik yang kesulitan mengikuti
ritme perubahan standar kompetensi Penilik ; pada umumnya mereka mencari kesibukan lain, sebagai akibat atas
perlakuan dan kebijakan yang mendiskriminasikan Penilik, contoh: banyak Penilik
yang lebih subur obyekanya, atau Penilik yang menduduki jabatan 3 - 4 macam
dalam organisasi lain, sambil mencari peluang mutasi ke tempat lain, yang
menurutnya juga sebagai aktualitas diri dan peningkatan kompetensi sosial , kepribadian.
Tiga decade perjuangan Penilik menuai dampak sicologis yang berakibat
menurunnya produktivitas, hal ini dianggap kebiasaan PNFI
Bongkar kebiasaan lama,
untuk berprilaku positif seorang penilik perlu jalan tengah, menuju standar
kompetensi yang diharapkan marilah kita
pahami diri kita sebagai Penilik, perlu kita melakukan refleksi ketika bertugas
bagaimana seharusnya kita bersikap. Pada ranah prilaku Penilik yang termasuk
pada kompetensi sosial beberapa temuan para ahli tentang prilaku seperti: Brehm
& Kassin, 1993, Sears, dkk ...,1994; Baron & Byrne, 1997 yaitu
agresivitas kerap dimaknai sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan
untuk melukai orang baik secara fisik maupun psikologis, serangan atau tindak
permusuhan pada orang lain. Berbalikan dengan perilaku agresif adalah perilaku
pasif. Baik agresif ataupun pasif jelas tidak pada tempatnya dikembangkan tanpa
ada sebab, apalagi bagi seorang Penilik. Jalan tengah yang harus ditempuh oleh
Penilik adalah bersikap asersif.
Agar jelasnya tentang karakteristik
dan elemen gaya serta factor pendorong dari masing- masing prilaku dapat
dilihat pada table berikut :
Dari gambaran diatas, seorang
penilik hendaklah menghindari untuk bersikap agresif atau pasif. Sebab keduanya
justru akan menjadikan sasaran penilik, tidak termotivasi untuk melakukan tugas-
tugasnya dengan baik. Namun demikian , ada kalanya perilaku agresif dan pasif
diperlukan dengan kondisi- kondisi tertentu.
Pada
kenyataanya tidak semua orang dapat bersikap asersif sebagai sikap jalan
tengah, beberapa penyebabnya antara lain :
·
Kurang latihan
·
Pendidikan awal
dari orang tua
·
Tidak ada standar
yang jelas, tidak yakin apa yang diinginkan
·
Takut dengan respon
marah
·
Merasa tidak
memiliki hak untuk bersikap tegas dan meminta penjelasan
Setiap individu berusaha untuk
mempertahankan gambaran diri yang telah ada, perubahan itu tidak dapat serta
merta menjadi dan sulit sekali. Jika hal itu positif memang tidak menjadi
persoalan, namun jika hal itu menjurus pada hal yang negatif maka gambaran diri
itu akan membawa keburukan. Lakukan penyemaian
jati diri dengan bentukan dan pengembangan pribadi sebagai bibit unggul yang
benar- benar kuat dan mandiri. Dengan begitu pengalaman keseharian yang
diperoleh oleh seseorang akan sangat berharga dalam memperbaiki citra diri.
Mewujudkan proses perubahan tidak
mungkin berhasil tanpa adanya suri teladan yang melekat pada proses terbut,
yang sebaiknya diawali dari diri sendiri . Bila kita tidak menginginkan muara
dari segala masalah ini adalah krisis identitas atau jati diri, yang telah lama
ada dan semakin menggerogoti pribadi kita, bangsa kita, ketangguhan dan
keuletan bangsa Indonesia pun menghadapi cobaan berat, tentu dibutuhkan
pribadi- pribadi yang ulet dan tangguh, sehingga terbentuk Penilik profesional.
Referensi :
Soemarno
Soedarsono, 2006, The Willlingness to
Change- Hasrat Untuk Berubah , Jakarta: Gramedia
2006, Model-
Model Pelatihan Bagi Pengawas Sekolah, Departemen Agama RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar